Setelah Malaysia menerapkan pengekangan (controls) pada sistim lalu lintas devisanya maka debat di Jakarta mulai lagi, apakah Indonesia juga tidak perlu mengadakan controls atau pengendalian pada lalu lintas devisanya? Pada umumnya, pemerintah dan para ekonom profesional berhati-hati dalam sikapnya, dan tidak menganjurkan controls pada waktu ini. Sikap pemerintah dan Bank Indonesia lebih pasti: tidak memikirkan mengubah sistim yang berlaku.
Konsepnya dinamakan IMF Plus. Itulah cara pemerintah untuk mengatasi krisis sebagaimana diutarakan Pak Harto dalam pidato pertanggungjawabannya di depan MPR, 1 Maret lalu. Tak jelas apa arti "plus" di sini. Ada yang menduga plus CBS, ada pula CBS total. Belum lagi pernyataan itu berumur sepekan, ketika orang masih bertanya-tanya, apa konsep "plus" pemerintah itu, Pak Harto mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Yakni, kesepakatan pemerintah dengan IMF itu akan membawa Indonesia pada liberalisme.
Banyak kalangan makin bingung menanggapi pernyataan itu. Apalagi menurut Pak Harto, kesepakatan IMF itu tidak sesuai dengan semangat UUD 45, khususnya pasal 33. Benarkah demikian? Ekonom dan peneliti senior dari LIPI, Dr. Thee Kian Wie, 62 tahun, punya pendapat menarik menanggapi pernyataan Pak Harto itu. Kepada Iwan Setiawan dari TEMPO Interaktif, ia bertutur,"...saya tidak mengerti bagian mana dari 50 butir kesepakatan IMF itu yang tidak sesuai dengan UUD 45, apalagi melanggar konstitusi." Tambahnya,"Sebaliknya malah kesepakatan itu sangat sesuai dengan UUD 45, terlebih mengenai penghapusan monopoli dan oligopoli."
Berikut petikan wawancara dengan ekonom yang mendalami sejarah pembangunan ekonomi Indonesia itu, Rabu, 11 Maret 1999, di ruang kerjanya yang sederhana, lantai 5 gedung LIPI, kawasan Gatot Soebroto, Jakarta.