22 April, 2010

Gejolak Kurs dan Kondisi Fundamental Ekonomi


Oleh:
Iwan Jaya Azis (1998)

Sudah banyak sekali analisis tentang gejolak kurs di Asia Tenggara. Walaupun tidak semua, namun saya mendapat kesan bahwa sebagian besar analisis tersebut tidak memperjelas proses yang terjadi, bersifat spekulatif, dan bahkan ada yang mengkaitkannya dengan perlunya pembenahan sektor riil.Namun, bagi saya yang paling meleset adalah analisis yang menyimpulkan bahwa "peristiwa gejolak kurs baru baru ini membuktikan bahwa kondisi fundamental ekonomi tidak lagi menjadi faktor penting." Ini nonsense!

Lalu ada juga yang mengkaitkan gejolak kurs dengan kecanggihan teknologi dipasar uang dan modal, dimana pembelian suatu mata uang dapat dilakukan lebih cepat dibandingkan dengan situasi beberapa tahun lalu. Sebenarnya, dari dulu sampai sekarang tidak ada perbedaan. Teknologi mempercepat pembelian matauang antar-negara tidak banyak berubah dalam 10 tahun terakhir. Dulu sudah mudah, sekarang juga mudah. Jadi, bukan itu persoalannya.

Keterbelakangan dan bottleneck di sektor riil memang penting, dan selalu penting dalam 10 atau 20 tahun terakhir. Tetapi, mengarahkan target penyebab serangan terhadap rupiah pada sektor riil kurang tepat. Kalau memang keterbelakangan sektor riil yang menjadi penyebab, mengapa peristiwa serangan terhadap rupiah tidak terjadi tahun lalu atau dua tahun lalu? Mengapa justru otoritas moneter kita waktu itu dibuat pusing mengatasi keadaan yang sebaliknya, yaitu derasnya arus modal masuk yang mengakibatkan rupiah menguat (apresiasi)? Bukankah bottleneck di sektor riil tahun lalu atau dua tahun lalu tidak lebih kecil dari sekarang?

Semua tahu bahwa penurunan nilai rupiah berkaitan dengan penurunan pasok dolar, antara lain karena permintaan terhadap dolar melonjak. Namun, yang menjadi pertanyaan dan masih belum jelas jawabannya, siapa yang membeli dolar itu, dan apa motif dasarnya? Dari peristiwa yang saya baca dan dengar sampai hari ini, nampaknya ada dua tahap peristiwa, sebut saja tahap 1 dan tahap 2.

Pada tahap 1, yaitu bermula sejak Juli bersejarah sampai sekitar awal Agustus lalu, ada beberapa kemungkinan. Spekulator, baik asing maupun domestik, bisa menjadi pelaku utama, tapi motif mencari untung tetap dominan. Tuduhan PM Malaysia Mahatir terhadap satu orang spekulator asing, G. Soros, sebagai salah satu pelaku (pembeli) memang benar, karena Soros sendiri sudah mengakuinya. Tapi, menuduh bahwa dia mempunyai motif politik saya pikir terlalu berlebihan.

Kemungkinan pelaku lain adalah dunia usaha sendiri (termasuk bank) yang juga tergiur untuk memanfaatkan kesempatan memperoleh keuntungan. Sebenarnya ada dua jenis dalam kelompok ini. Pertama, mereka yang sekedar ingin memanfaatkan untuk keuntungan, jadi sami mawon dengan spekulator. Jenis kedua berkaitan dengan tahap 2, yaitu mereka yang benar-benar membutuhkan dolar, karena kalau tidak membeli sekarang posisi hutang (dalam dolar) mereka makin sulit terbayar mengingat nilai rupiah yang diperlukan akan makin besar.

Saya pribadi beranggapan bahwa sejak awal Agustus sampai sekarang (tahap 2), kelompok terakhir ini yang membeli dolar paling banyak. Mengapa? Harus diakui bahwa meskipun tingkat bunga sudah turun dibandingkan awal tahun 1990an (masa tight money policy, TMP), tingkat bunga dalam negeri masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bunga di luar negeri. Disamping itu, dalam dua tahun terakhir kecenderungan tingkat bunga luar negeri turun, mengingat ekonomi AS cukup baik (tidak ada kekuatiran inflasi) dengan tingkat bunga yang rendah seperti sekarang. Jadi, masuk akal kalau banyak pengusaha kita yang mencari pinjaman di luar negeri. Ini lebih dimungkinkan lagi karena kredibilitas Indonesia cukup baik, antara lain karena kondisi ekonomi makro yang stabil.

Hutang swasta semacam ini tidak ada masalah asal jadwal dan kemampuan membayarnya juga terjamin. Nah, disinilah letak persoalannya. Karena kecenderungan rupiah makin melemah, terutama karena semua pihak termasuk laporan Bank Dunia pre-CGI memperkirakan bahwa defisit transaksi berjalan (DTB) akan makin besar, maka banyak pihak swasta mulai pasang kuda-kuda sebelum pembayaran hutang luar negeri mereka jatuh tempo. Caranya? Beli saja dolar sekarang karena makin besar DTB, seperti yang diperkirakan dan didengungkan semua pihak, makin merosot nilai rupiah, yang berarti makin banyak rupiah yang harus disediakan untuk membayar hutang mereka (dalam dolar). Dengan perkataan lain, swasta ingin memperkecil risiko. Ini sama sekali tidak dapat digolongkan sebagai tindakan spekulasi.

Tinggal satu pertanyaan tersisa: sebelum mereka memborong dolar untuk mengurangi risiko (tahap 2), apa yang menyebabkan nilai rupiah merosot di tahap 1? Disini, faktor standar tetap berlaku, dan faktor fundamental ekonomi masih mempunyai peran utama. Setiap ada kecenderungan DTB membesar, tekanan terhadap rupiah selalu muncul. Ini konsep dasar dalam ilmu ekonomi, dan secara empiris terbukti. Contoh yang paling sering dijadikan acuan adalah kasus ketidakseimbangan perdagangan antara Jepang dan AS. Kalau defisit AS cenderung naik, tekanan untuk memperlemah dolar (vis-a-visYen) selalu muncul. Seperti yang disinggung sebelumnya, kita semua tahu bahwa DTB kita memang membesar dan semua memperkirakan DTB akan lebih besar lagi di tahun tahun mendatang. Jadi, wajar dan sangat sesuai dengan prediksi teori ekonomi bahwa dalam situasi semacam itu nilai rupiah akan turun.

Namun, nilai penurunan rupiah sejak Juli bersejarah tersebut ternyata lebih besar dari dugaan. Jadi, pasti ada faktor lain yang makin memperkuat (reinforce) proses melemahnya nilai rupiah. Disinilah muncul faktor contagion effect, yaitu penularan gejala dari negara tetangga, terutama Thailand. Perlu disadari bahwa dampak "penyatuan" ekonomi ASEAN (melalui AFTA) dan Asia Pasifik (melalui APEC) tidak hanya melulu bersifat positif seperti yang sudah berkali kali didengungkan dan dianalisis. Analisis semacam itu memang tepat. Namun, proses dampak negatif juga bisa berlangsung, dan ini sangat jarang disebut. Kalau satu anggota keluarga maju, yang lain ikut menikmati. Namun, satu anggota keluarga sakit, yang lain juga ikut tertular. Itulah sebabnya semua negara ingin turut membantu keluarga yang sakit (Thailand) agar cepat sembuh dan tidak menularkan penyakitnya. Indonesia sendiri ikut menyumbang setengah milyar dolar.

Pada akhirnya, tetap dua faktor utama yang dapat berpengaruh pada nilai suatu mata uang: kondisi fundamental ekonomi dan sentimen pasar yang disebabkan oleh faktor lain termasuk keadaan politik. Dari sudut kebijakan ekonomi, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengkontrol faktor kedua. Di lain pihak, kalau faktor pertama mulai ikut goyang, maka tekanan terhadap mata uang lokal akan makin diperkuat (reinforced). Bagi Indonesia sekarang, otoritas keuangan diharapkan terus berusaha mempertahankan kondisi fundamental ekonomi (pertumbuhan tinggi, inflasi terkontrol, DTB turun). Salah besar kalau kita beranggapan bahwa kondisi fundamental ekonomi sudah tidak lagi berperan.

Saya berpendapat bahwa pemerintah harus hati-hati bermain dengan kebijakan moneter dalam saat saat seperti ini. Kalau tingkat bunga dimainkan (dinaikkan) terlalu banyak dan terlalu lama, dengan harapan dapat mempertahankan nilai rupiah, maka dampak negatif akan muncul: investasi turun dan pertumbuhan ekonomi rendah. Sindrom Thailand akan menjadi kenyataan. Artinya, kondisi fundamental ekonomi mulai goyang. Jadi, saya sejalan dengan pendapat beberapa pengusaha yang khawatir dengan tingkat bunga yang terus dimainkan (dinaikkan). Mungkin motif kekuatiran saya yang berbeda dengan mereka; karena saya bukan pengusaha.

 

No comments:

Post a Comment