22 April, 2010

Sistim Devisa Bebas dipersoalkan Lagi


Oleh:
Mohamad Sadli (1998)
Setelah Malaysia menerapkan pengekangan (controls) pada sistim lalu lintas devisanya maka debat di Jakarta mulai lagi, apakah Indonesia juga tidak perlu mengadakan controls atau pengendalian pada lalu lintas devisanya? Pada umumnya, pemerintah dan para ekonom profesional berhati-hati dalam sikapnya, dan tidak menganjurkan controls pada waktu ini. Sikap pemerintah dan Bank Indonesia lebih pasti: tidak memikirkan mengubah sistim yang berlaku.


Di lain fihak, Iman Taufik dari Kadin Indonesia berpendapat bahwa "kondisi lingkungan strategis akan memaksa Indonesia menerapkan langkah tersebut dan Kadin Indonesia akan terus mendesak diterapkannya kebjiakan itu. Kontrol devisa yang sifatnya terbatas, atau "semi kontrol devisa", diperlukan, katanya.

Pakar pasar uang, Thoemion (BN: mohon ejaan nama ini dicheck), di TV, juga yakin bahwa apa yang dilakukan Malaysia lebih baik daripada free float dan tingkat bunga tinggi yang dilakukan Bank Indonesia. Keluhan dunia bisnis mengenai tingkat bunga (SBI) yang sangat tinggi dan kurs rupiah yang bisa bergolak dari hari ke hari adalah sangat umum. Dunia bisnis tidak bisa bekerja dan survive di lingkungan demikian.

Maka pemerintah dan Bank Indonesia betul-betul mengalami dilema. Akan tetapi, secara praktis tidak ada pilihan lain daripada mempertahankan kebijakan yang ada sampai sekarang. Salah suatu faktor, yang kebetulan sangat menentukan, adalah IMF. Walaupun pemerintah masih berdaulat untuk menyimpang dari kebijakan yang sudah disetujui bersama dengan IMF, resikonya adalah bahwa kucuran dana IMF US$ 1 milyar sebulan dan seluruh paket bantuan CGI US$ 14 milyar untuk tahun anggaran ini bisa terkatung.

Apakah kebijakan yang dianut IMF itu salah atau tidak, itu tidak relevan. Kalau pun itu salah, tetapi kalau IMF dan lain-lain donor menghentikan arus dana bantuannya maka ekonomi serta keuangan Indonesia pasti lebih terpuruk.

Ini pasti! Ekonomi Indonesia hanya bisa berjalan kalau arus modal dari luar mau masuk. Arus modal swasta, termasuk dari perbankan, masih ragu. Hanya arus modal resmi (official aid flows) yang jalan. Kita tidak boleh mengganggu kepastian arus ini.

Ada berita dari media asing yang mengatakan bahwa Hubert Neiss in prinsip tidak keberatan terhadap sesuatu pengendalian regim devisa. Tetapi, di hari Kamis 17 Oktober terbaca bantahan dari wakil IMF di Jakarta, Kadhim Al-Eyed, (kepada Kompas) bahwa pemberitaan itu "merupakan kesalahan kutip kantor berita asing atas pernyataan Direktur IMF untuk Kawasan Asia Pasifik, Hubert Neiss, di Korea Selatan.

"IMF tetap berpegang pada belum saatnya bagi Indonesia untuk menerapkan kebijakan kontrol devisa. Penerapan kontrol devisa untuk saat ini akan membuyarkan kepercayaan asing terhadap kebijakan ekonomi Indonesia. Untuk jangka panjang, penerapan sistim kontrol devisa juga tidak efektif di Indonesia."

Demikianlah "fatwa" IMF. Untuk kepentingan praktis maka Pemerintah RI tidak bisa mengabaikannya karena resikonya adalah "kehilangan" (kepastian) $ 14 milyar untuk tahun ini. P.M. Mahathir bisa menerapkan controls karena Malaysia tidak terikat kepada perjanjian dengan IMF.

Pernah dipertanyakan: apakah kebijakan Malaysia akan ada dampaknya pada Indonesia? Mula-mula jawabnya cenderung "tidak ada". Akan tetapi sekarang tampak interaksinya. Yakni apa yang terjadi di sesuatu negara Asia Tenggara atau Timur senantiasa ada pengaruhnya di negara-negara tetangganya. Ini adalah kelanjutan dari "contagion effect" yang mewarnai krisis moneter di Asia.

Dampak pengaruhnya adalah pasar saham dan modal (di Jakarta), terutama fihak asing yang sekarang dominan, merasa tak aman: apakah Indonesia akan meniru Malaysia atau tidak? Harga-harga saham di bursa jatuh. Isyarat-isyarat yang datang dari Jakarta serba rancu. Fihak Bank Indonesia dan pemerintah secara keras menolak akan adanya kebijakan yang "meniru" Malaysia. Tetapi dari dunia usaha ada isyarat-isyarat yang lain, seperti disebut di atas ini. Kiranya, para pelaku internasional di pasar modal untuk beberapa hari merasa cemas dan kurs sham serta rupiah sedikit terpuruk, tetapi setelah beberapa lama maka mereka akan lebih mengindahkan isyarat-isyarat yang datang dari pemerintah dan Bank Indonesia, selama itu consistent.

Yang ingin kita kemukakan di sini adalah bahwa ada dua segi dari permasalahan yang sering dicampur-adukkan. Segi pertama adalah pengelolaan kurs (rupiah), apakah itu berdasarkan free float atau "terkendali", misalnya bergerak di dalam suatu band atau rentang. Segi lain menyangkut "capital controls", artinya, kalau mau transfer untuk kepentingan yang bukan untuk impor dan ekspor (artinya current account) maka harus ada izin. Misalnya, transfer keuntungan atau angsuran pinjaman memerlukan pengujian serta perizinan. Di Malaysia sekarang para turis pun mengeluh karena ringgit yang kelebihan tidak bisa mereka tukarkan kembali menjadi dolar di airport ketika mau pulang. Ini contoh dari "controls".

Tetapi di Malaysia memang kebijakan baru menyangkut keduanya, pertama mengenai penentuan kurs (yakni fixed pada R 3,8 per dollar AS), dan adanya capital controls.

Di Indonesia, Kadin Indonesia yang menganjurkan "semi kontrol" mungkin hanya ingin melihat kurs rupiah tidak diserahkan kepada pasar secara "free float" melainkan dikendalikan oleh Bank Indonesia supaya bergerak di dalam suatu band. Mengenai capital controls-nya kurang ditekankan. Akan tetapi, ada pertanyaan: apakah kurs (rupiah) bisa dikendalikan tanpa capital controls? Ada yang mengatakan tidak bisa, akan tetapi kalau band-nya fleksibel maka mungkin bisa tanpa capital controls. Tetapi, kalau tanpa capital controls maka cadangan devisa harus lebih besar. Bisa dipenuhikah? (HABIS).

 

No comments:

Post a Comment