21 April, 2010

Selalu Masih Bisa diperbaiki


Oleh:
Mohamad Sadli (2005)



Ada anomali yang agak mengganggu dan harus dicari penjelasannya. Di satu fihak keadaan ekonomi dan politik cukup baik dan stabil. Laju pertumbuhan PDB telah menyentuh 6% setahun dan laju inflasi masih di bawah 10% setahun. Tetapi di lain fihak banyak responden terhadap suatu survey merasakan tidak ada perbaikan nasibnya sesudah krisis 1998 dan dalam ingatannya keadaan sebelumnya lebih baik. Perubahan politik pun tidak dirasakan sebagai kemajuan. Tetapi, kalau ditanyakan apakah lebih baik kembali ke zaman Orde Baru, maka pasti pilihan demikian ditolak.


Perubahan regim yang mendadak memang selalu membawa kesemerawutan. Sejarah RI penuh dengan contohnya. Regim kolonial Belanda terlempar oleh perang dunia II dan invasi Jepang. Regim pendudukan Jepang secara mendadak diganti oleh regim kemerdekaan. Banyak orang (tua) mengingat zaman Belanda lebih nyaman ketimbang zaman merdeka. Regim pendudukan Jepang yang mengganti regim kolonial Belanda juga membawa penderitaan ekonomi dan sosial sendiri. Regim Suharto yang bertahan tiga dasawarsa banyak membawa kemajuan ekonomi, akan tetapi pada akhirnya tumbang juga oleh demonstrasi besar-besaran sesudah ekonomi dilanda krisis perbankan. Orde Reformasi yang mengganti regim Suharto tidak langsung bisa membawa stabilitas. Baru setelah kira-kira tujuh tahun maka dewasa ini mudah-mudahan ada permulaan stabilitas baru. Tetapi, pemerintah SBY-MJK belum lolos juga dari ujian sejarahnya.

Penggantian regim di Indonesia sejak perang dunia II tidak pernah dipimpin oleh suatu organisasi politik (gerakan/partai) yang tersusun rapi. Ini perbedaan besar antara Indonesia dan India. India punya Partai Konggres yang sejarah organisasi dan kepimpinannya lebih lama dan kontinu. Di Indonesia timbul gerakan kemerdekaan yang lebih berdasarkan semangat yang berkobar-kobar, akan tetapi tidak ada partai yang mampu memberi arahan dan kepimpinan yang stabil dan teratur. Kader birokrasi yang ditinggalkan oleh Belanda juga praktis musnah selama perang dunia II, zaman pendudukan Jepang, dan sejak Revolusi 1945 lebih dikocar-kacirkan karena pertentangan antara semangat para politisi baru yang memerintah dan jiwa birokrasi tinggalan regim kolonial. Sutan Sjahrir pernah mau membuang segala warisan (birokrasi) kolonial ini akan tetapi ia tidak punya pengganti yang punya pengalaman di pemerintahan.

Setelah pemerintah Suharto tumbang maka presiden penggantinya masing-masing ada cacatnya. Habibie menjadi wakil presiden oleh karena Suharto tidak pernah memandangnya sebagai calon penggantinya. Ketika Suharto mundur ia sebetulnya berharap Habibie ikut mundur. Pada dirinya Habibie tidak pernah punya legitimasi berdasarkan kemampuan atau popularitas dan ini terbukti pada pemilihan umum berikutnya. Megawati juga tidak punya bakat untuk bertindak sebagai Presiden RI yang berwibawa. Gus Dur menjadi kekecewaan besar setelah diberi kesempatan. Maka Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menjadi tarohan sebagian besar masyarakat yang memilih dia dengan menolak Megawati. Tetapi, pribadi SBY pun punya kelemahannya sendiri. Ia kurang berani mengambil keputusan dan terlalu menunggu konsensus. Tetapi, orangnya pintar dan lekas mengerti sehingga juga tidak membuat banyak kesalahan kebijakan. Wakil Presidennya, Jusuf Kalla, dikenal bereaksi dan bertindak cepat, yang bisa mengimbangi kelemahan presidennya. Walaupun MJK sendiri juga ada cacatnya di pandangan orang, akan tetapi kombinasi SBY-MJK tampak yang paling optimal untuk waktu sekarang.

Di bidang ekonomi maka gaya kepimpinan Megawati yang tak banyak inisiatifnya toh sempat membangun landasan untuk stabilitas ekonomi dan moneter. Mungkin jasa menteri keuangan Budiono harus disebut. Stabilitas moneter, dalam ukuran tingkat inflasi yang menurun, ditingkatkan dengan menjaga defisit anggaran belanja yang diusahakan semakin kecil, dan dibiayai dengan cara-cara yang non-inflator (artinya tidak dengan mencetak uang baru). Bank Indonesia sebagai bank sentral diberi fungsi baru dalam undang-undangnya, yakni misi utamanya (hanya) menjaga nilai rupiah. Fungsi dulu mencakup juga sebagai agent of development, yang sekarang tidak lagi. Bank Indonesia juga menjadi independen, artinya tidak secara resmi di bawah pemerintah. Bahwa dalam praktek harus ada koordinasi antara BI dan pemerintah, ini pun difahami.

Stabilitas moneter ini menjadi jangkar untuk perkembangan ekonomi selanjutnya. Berangsur-angsur tingkat inflasi berhasil diturunkan. Akan tetapi inflasi Indonesia, walaupun sudah di bawah 10% setahun, sebetulnya masih cukup tinggi kalau dibandingkan dengan inflasi dunia dan inflasi di negeri tetangga. Inflasi yang rendah untuk Asia Tenggara adalah dalam kisaran 3-4% setahun, dan inflasi Indonesia masih dua kali lebih tinggi. Maka di tahun-tahun mendatang usaha untuk meningkatkan stabilitas moneter ini masih harus diteruskan.

Ini tidak tanpa masalahnya sendiri. Iklim ekonomi di Indonesia dalam sejarahnya lebih banyak inflator (kalau dibandingkan dengan, misalnya, Malaysia, Thailand dan Singapura). Maka di masyarakat selalu ada inflationary expectations yang berangsur-angsur harus dibunuh. Bagi Bank Indonesia alat kebijakan utama adalah mempengaruhi tingkat bunga. Kalau ada tekanan inflasi maka tingkat bunga SBI harus dinaikkan. Tingkat bunga ini sebetulnya sudah tinggi, di atas 8% setahun. Akan tetapi, kalau masyarakat memperkirakan inflasi akan setinggi 8-10% setahun, maka tingkat SBI harus dinaikkan lagi.

Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas mengerti ini dan secara publik menyatakannya, akan tetapi yang harus melakukannya adalah Bank Indonesia yang kadang-kadang tampak ragu-ragu karena khawatir kalau tingkat bunga SBI dinaikkan maka sektor riil terkena dan laju pertumbuhan bisa terpangkas. Anggaran belanja BI dan pemerintah pun akan kena dampaknya. Inilah dilema kebijakan. Kalau mau mematikan inflasi maka ada korban seketika, yakni kemungkinan laju pertumbuhan PDB turun sedikit dalam jangka pendek. Tarohannya adalah dalam jangka lebih panjang stabilitas moneter yang kredibel akan merangsang investasi dan pertumbuhan ekonomi, seperti terjadi di Malaysia dan Singapura.

Di Indonesia sekarang maka stabilitas ekonomi dan moneter juga masih tergantung dari pengelolaan anggaran belanja pemerintah. Arahnya sudah baik, akan tetapi tahun ini (dan mungkin tahun depan) masih diganggu oleh harga minyak bumi yang tinggi yang menyebabkan subsidi BBM membengkak sampai bisa melebihi Rp 100 trilyun. Defisit sebesar itu tidak bisa dibiayai secara non-inflator. Maka masyarakat cemas akan meningkatnya inflasi. Ini menambah inflationary expectations.

Obat yang mujarab hanya satu: harga BBM harus disesuaikan dengan realita pasar agar subsidi bisa ditekan. Pemerintah juga sudah menyadari ini akan tetapi takut akan konsekuensi sosial-politiknya. Seperti biasa, Presiden memerlukan waktu untuk diyakinkan, tetapi waktu sangat berharga. Solusinya sudah tampak bayangannya. Akhirnya Pertamina akan diizinkan untuk menentukan harga BBM sesuai dengan biaya pengadaannya, akan tetapi proses penyesuaiannya harus bertahap. Maka mudah-mudahan pada permulaan tahun anggaran yang baru (2006) sudah terlaksana.

Sisi pengeluaran pada APBN juga masih harus diperbaiki. Masih terlalu besar pengeluaran anggaran ditujukan untuk menunjang konsumsi. Subsidi BBM (dan angsuran utang) menghisap tenaga pemerintah untuk memajukan sektor-sektor sosial, seperti kesehatan dan pendidikan. Anggaran belanja pembangunan dan perawatan infrastruktur juga sangat minim. Banyak jalan raya, terutama di luar Jawa, tidak terawat baik. Ini sebagian dampak implementasi otonomi daerah. Tangan pemerintah pusat terpotong dan pemerintah daerah belum mampu memprioritaskan pembangunan daerah di atas keperluan rutinnya. Maka sasaran DAU dan DAK (Dana Aloksi Khusus) harus diarahkan oleh pemerintah pusat. Ini berangsur-angsur juga sedang dilaksanakan. Tetapi, kalau subsidi BBM bisa dipangkas maka proses realokasi dana-dana APBN bisa berjalan lebih rasional.

Dewasa ini masih ada sisa debat, apakah dana kompensasi penarikan subsidi BBM harus direalokasi secara langsung kepada penduduk miskin, atau dana-dana itu lebih baik dipakai untuk menambah anggaran sekolah dan puskesmas, misalnya. Pengalaman di lain-lain negara miskin juga menunjukkan bahwa alokasi (cash) langsung ke penduduk miskin rawan kebocoran. Lebih rasional mengalokasikan uangnya kepada sektor pendidikan dan kesehatan untuk membantu penduduk miskin.

Dengan segala kekurangannya maka Pemerintah SBY-MJK masih merupakan tarohan terbaik untuk menghadapi berbagai tuntutan zaman. Karena tidak ada pilihan yang lebih baik maka pemerintah ini tidak menghadapi tantangan politik seberat Presiden Gloria Arroyo Macapagal di Manila. Maka prospek stabilitas politik di Indonesia lebih baik. Presiden, Wakil Presiden dan para menteri juga cukup terbuka, mau belajar dan menerima nasehat. Di kabinet ada dua menteri (perempuan) muda yang punya citra bagus di masyarakat dalam dan luar negeri. Mereka juga banyak didengarkan oleh pimpinan negara. Dikabarkan para menteri ekonomi mendengarkan ekonom internasional terkenal Jeffrey Sachs ketika kebetulan ada di Jakarta untuk menghadiri pertemuan Asia Pacific tingkat menteri untuk membicarakan sasaran Millennium Development Goals (MDG).

Suatu teka-teki atau pertanyaan adalah apakah Presiden harus merombak kabinetnya setelah pengalaman satu tahun. Rasionalnya, harus, akan tetapi watak Presiden yang mengambil waktu lama untuk memutuskan sesuatu dan suka menunggu konsensus, sampai sekarang tidak memberikan isyarat ke arah itu.


No comments:

Post a Comment