22 April, 2010

CGI dan Dilema Utang Luar Negeri


Oleh:
Sri Mulyani Indrawati (1999)
Minggu-minggu terakhir kembali kita diributkan dengan pembahasan mengenai masalah sidang CGI yang akan dilaksanakan pada minggu ini di Paris Perancis. Setiap tahun debat masalah utang luar negeri selalu muncul pada saat menjelang sidang CGI yang pada dasarnya dikaitkan dengan perhatian dan terutama keberatan masyarakat yang diwakili oleh LSM terhadap kebijakan utang luar negeri yang tidak pernah absen selama Orde Baru berlangsung dan terus berlanjut hingga pemerintah transisi ini. Tulisan ini mencoba mengupas masalah utang luar negeri terutama dikaitkan dengan dilema kehadiran dan fungsinya ditengah perekonomian Indonesia yang telah dua tahun terlanda krisis.


Krisis ekonomi sendiri memberikan bobot yang sangat berbeda terhadap kehadiran utang luar ini karena selama dua tahun terakhir terjadi penambahan utang luar negeri oleh pemerintah yang sangat signifikan akibat diterimanya paket pinjaman IMF sebesar US$ 43 milyar. Posisi utang luar negeri sebelum krisis sekitar US$ 110 miliar melonjak menjadi US$ 152 miliar pada maret 1999. Krisis ekonomi juga menyebabkan terjadinya pengalihan utang privat ke publik akibat program restrukturisasi perbankan yang rumit dan dengan biaya yang makin membengkak hingga diperkirakan mencapai sekitar Rp. 550 triliun.

Berbeda dengan keberatan-keberatan masa sebelum krisis, keberatan terhadap utang luar dan diadakannya sidang CGI tahun ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa pemerintah transisi saat sidang dilaksanakan (26-27 Juli 1999) dalam posisi yang bisa dikatakan tidak memiliki otoritas yang diterima rakyat akibat hasil pemilihan umum yang masih menggantung. Keberatan masyarakat juga menjadi makin berarti penting terutama dikaitkan dengan berbagai bukti yang masih sangat segar dalam ingatan selama kampanya pemilu terbukti terjadi penyelewengan penggunaan dana JPS yang didanai oleh utang luar negeri. Kedua hal ini paling tidak memberikan bobot politis yang sangat nyata bagi perlunya ditinjau kembali kebijakan pemerintah dalam menggunakan dana luar negeri sebagai sumber pendanaan defisit anggarannya.

Terlepas dari aspek politis diatas, persoalan utang luar negeri Indonesia dari aspek ekonomis sama sekali juga tidak sederhana. Bahkan prediksi dampak krisis terhadap utang luar negeri kita dan implikasinya terhadap perekonomian menampakkan gambaran yang suram. Krisis ekonomi yang ditandai oleh perubahan yang sangat drastis dari nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing memberikan dampak yang sangat dahsyat bagi utang luar negeri Indonesia baik utang swasta maupun pemerintah. Kondisi ini diperburuk dengan kenyataan bahwa banyak utang tersebut digunakan untuk membiayai proyek yang berorientasi domestik (non tradable) seperti infrastruktur, properti, dan juga manufaktur berorientasi pasar domestik yang mengandalkan pada penerimaan rupiah sehingga menyebabkan tidak seimbangnya penerimaan dengan kewajiban pembayaran bunga dan cicilan luar negeri. Tingkat keparahan juga ditambah dengan praktek mark-up yang menyebabkan menggelembungnya utang luar negeri secara berlebihan seperti ditunjukkan dengan berbagai kasus yang terbongkar akhir-akhir ini untuk proyek infrastruktur seperti listrik, jalan tol, maupun proyek lainnya.

Nampaknya krisis utang luar negeri bagi Indonesia seperti yang dialami oleh negara-negara Amerika Latin periode 80an sukar dihindarkan. Tanda-tanda menuju terjadinya krisis utang luar negeri begitu nyata. Pertama, krisis yang terjadi dikawasan Asia sejak tahun 1997 menyebabkan terjadinya penghentian secara mendadak arus modal dari luar negeri yang selama ini menjadi andalan menutup defisit transaksi berjalan ke negara terkena krisis. Bahkan untuk Indonesia selain terhentinya sumber dana luar negeri , juga terjadi arus modal keluar akibat krisis politik yang menyebabkan kolapsnya keseimbangan neraca pembayaran yang makin memperburuk pelemahan (depresiasi) Rupiah.

Depresiasi Rupiah yang mencapai lebih dari 80% menyebabkan keseluruhan perhitungan keseimbangan perekonomian terhadap kewajiban luar negeri menjadi tidak seimbang. Hal ini ditunjukkan baik oleh rasio uutang luar negeri terhadap PDB yang melonjak hingga mencapai sekitar 135%, Rasio utang luar negeri terhadap ekspor sebesar mendekati 300%, dan DSR yang mendekati 60% atau dua kali lipat diandingkan sebelum krisis. Indikator diatas nampak mirip dengan kondisi negara-negara Amerika Latin pada awal dan pertengahan 1980an pada saat krisis utang luar negeri melanda kawasan tersebut. Dengan kemiripan tersebut apakah yang mungkin terjadi bagi perekonomian kita, apakah akan mengikuti jejak negara Amerika Latin dalam bentuk terjadinya hiperinflasi dan menyebabkan 'hilangnya' kawasan itu dalam percaturan ekonomi global atau apa yang disebut sebagai lost decade?

Reaksi penyesuaian dari negara-negara terkena krisis utang luar negeri yang juga menerima masuknya paket IMF seperti yang terjadi dengan Meksiko, Argentina, Brazil, dll pada dasarnya akan berfokus pada pengembalian keseimbangan eksternal (neraca pembayaran) dengan segala dampak strukturalnya. Pertama pada sisi transaksi berjalan kebijakasanaan mendorong ekspor dan mengurangi permintaan impor merupakan bagian terpenting. Secara teoritis depresiasi Rupiah yang tajam akan mendorong ekspor dan mengalihkan kegiatan pada aktivitas non-tradable (orientasi domestik) ke aktivitas tradable (orientasi ekspor). Masalahnya ekspor kita kinerjanya sangat tidak menggembirakan bahkan dibandingkan periode sebelum krisis. Hal ini menunjukkan berbagai kombinasi baik pada tingkat harga internasional komoditi yang melemah, maupun yang terutama akibat kondisi domestik yang sangat parah baik menyakut rusaknya perbankan yang merembet pada ketidakmampuan mengimpor bahan baku, serta masalah keamanan yang buruk. Rusaknya sektor perbankan juga diesbabkan terjadinya pergesaran harga relatif akibat merosotnya Rupiah. Surplus neraca perdagangan semakin menipis dan jelas tidak mampu bertahan bila kegiatan impor akan kembali normal atau mendekati pulih.

Terhentinya arus modal (utang) baru terutama pada sektor swasta memperparah kemampuan mengurangi dampak krisis bahkan semakin memeprburuk situasi swasta dan perekonomian secara umum. Kondisi ini akan memberikan tekanan yang sangat serius pada budget pemerintah. Penerimaan pemerintah akan mengalami kontraksi akibat mtinya kegiatan sektor swasta, sementara sisi pengeluaran akan semakin membengkak akibat melonjaknya kewajiban utang luar negerinya mencapai Rp 45 triliun pada 1999/2000( dengan asumsi kurs Rp 7500). Lonjakan pengeluaran pemerintah juga diakibatkan pembiayaan restrukturisasi bank yang mencapai lebih dari Rp 34 triliun, lonjakan subsidi, maupun kebutuhan mengurangi dampak krisis melalui dana JPS untuk tahun fiskal 1999/2000.

Defisit budget menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan yang dampaknya terhadap perekonomian domestik akan sangat tergantung pada cara pembiayaan maupun ekspektasi buruk masyarakat yang menjadi kenyataan. Pada kasus Amerika Latin merosotnya kondisi fiskal pemerintah menyebabkan kekhawatiran (ekspektasi) terhadap inflasi masa depan yang melonjak, yang menyebabkan meningkatnya suku bunga yang justru makin memperburuk kewajiban utang pemerintah (terutama akibat penerbitan obligasi doemstik untuk pembiayaan restrukturisasi bank). Belum lagi ditambah kenyataan bahwa pemerintah juga menjadi penjamin atau bahkan ikut menalangi utang swasta dan BUMN seperti yang terjadi pada kasus PLN maupun kasus proyek swasta yang disita melalui perbankan yang diambilalih pemerintah seperti Chandra Asri. Situasi tersebut menyebabkan inflasi tinggi berubah menjadi kenyataan yang tidak terhindarkan yang kembali menyebabkan penurunan suku bunga menjadi tidak mudah dilakukan.

Kondisi negara yang semakin terpuruk menyebabkan uluran dana dari luar negeri baik melalui publik maupun terutama swasta menjadi semakin sukar diharapkan. Sementara itu tekanan politik dalam negeri yang menghendaki peranan pemerintah justru semakin meningkat dalam rangka menanggulangi krisis terutama dalam bentuk program-program populis menjadi makin mengeras. Sukar bagi pemerintah Indonesia hasil pemilu untuk mendisiplinkan ekspektasi masyarakat dan partai politik (lawan) terutama dengan hasil pemilu yang memberikan kemenangan tipis parpol tertentu. Kompleksitas dan tekanan pada fiskal yang bertubi-tubi sering menyebabkan pemerintah mengambil jalan 'mudah' dengan tetap melakukan defisit anggaran melalui pembiayaan dalam negeri yaitu melalui pencetakan uang yang semakin memperparah inflasi.

Indonesia harus mampu memutus siklus pemburukan ekonomi yang berasal dari defisit anggaran pemerintah yang kronis yang menjadi malapetaka perekonomian dalam bentuk hiperinflasi. Dari sisi ini kehadiran CGI menjadi sangat relevan dan sangat penting. Kesediaan negara-negara pemberi utang untuk membiayai defisit anggaran pemerintah dalam situasi saat ini menjadi setidaknya salah satu pencegah terjebaknya Indonesia pada situasi hiperinflasi. Namun demikian beban utang luar negeri yang sudah sangat berat menjadi patut untuk dipertimbangkan terutama dikaitkan dengan sensitivitas masyrakat terhadap kehadiran utang luar negeri dan penyelewengan penggunaan di masa lalu. Akumulasi utang yang menumpuk menyebabkan tidak mampunya perekonomian bergerak, rawan resiko, dan menimbulkan disinsentif bagi pengelola ekonomi untuk mencapai kinerja baik akibat terlalu besarnya transfer keluar untuk memenuhi kewajiban utang luar negeri.

Berbagai upaya untuk mengelola utang luar negeri agar menguntungkan kedua belah pihak (pemberi utang dan peminjam dalam hal ini Indonesia) menjadi perlu dilakukan. Selama ini pemerintah Indonesia sangat anti membicarakan kemungkinan dilakukannya penjadwalan utang luar negeri pemerintah bahkan kalau perlu penjajagan dilakukannya penghapusan utang luar negerinya. Ketakutan yang muncul dari pihak pemerintah adalah hilangnya kepercayaan luar negeri dan ditutupnya kran modal internasional terhadap Indonesia. Dalam studi oleh Lindert & Morton, serta Eichengreen ditunjukkan bahwa ketakutan semacam itu tidak terjadi, artinya pihak kreditur tidak akan menutup akses modal apalagi bagi negara Indonesia yang selama ini selalu menunjukkan niat baiknya dalam memenuhi kewajiban luar negerinya (good boy).

Alasan yang lebih mendasar untuk tidak dijajakinya penghapusan utang luar negeri pemerintah adalah adanya kepercayaan para kreditur bahwa pemerintah yang diberi penghapusan sebagian utang tidak akan memanfaatkan peluang tersebut untuk benar-benar memperbaiki pengelolaan ekonominya. Justru yang terjadi fasilitas penghapusan ini menyebabkan pemerintah lupa diri dan terlena dan tidak termotifasi untuk melakukan perbaikan struktural (moral hazard) Jangan lupa pengaruh politik yang masih bergejolak juga merupakan faktor penting bagi pemerintah untuk melakukan pekerjaan yang sukar. Ketidakstabilan politik dan pergantian kekuasaan yang terus menerus terjadi secara cepat antara pihak sipil dan militer seperti yang terjadi di Amerika Latin menjadi faktor penentu terpenting memburuknya defisit anggaran pemerintah. Utang luar negeri yang sangat besar yang menggantung akan menyebabkan terhambatnya penyesuaian ekonomi dan menciptkan hambatan politis serius terhadap kelangsungan reformasi ekonomi (Sachs).

Dengan demikian adalah sangat penting untuk pemerintah meninjau kembali kebijakan utang luar negerinya, dengan penekanan pada upaya menjaga affordability dan sustainability proses pembangunan ekonomi melalui upaya mengurangi peranan utang pada masa mendatang. Rasanya tidak berlebihan menyatakn bahwa keberhasilan Indoensia keluar dari krisis secara sustainable selain ditentukan perbaikan struktural dalam institusi ekonomi juga akan sangat ditentukan oleh kemampuan memanage utang-utang yang telah diwariskan secara menumpuk oleh pemerintah dan pelaku ekonomi selama Orde Baru. Inilah batu ujian pertama dan terpenting bagi pemerintah baru yang akan terlihat pada struktur anggaran pemerintah tahun 2000/2001 dan seterusnya.

 

No comments:

Post a Comment