05 April, 2010

Sekitar Masalah Pemborosan 30%

Oleh :
Soemitro Djojohadikusumo (1994)


Ulasan ini dimaksud untuk menjernihkan suasana pembahasan tentang permasalahan yang kini seakan-akan menjadi heboh, dan mengembalikannya dalam konteks dan proporsi yang sewajarnya. Baru sekarang saya sempatkan melakukannya oleh karena setiba saya kembali di Jakarta tanggal 24 Nopember 1993 dari kongres ISEI di Surabaya (21-23 Nopember 1993), pada hari itu juga saya jatuh sakit sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit selama beberapa waktu.

Masalah pemborosan sumber daya dan dana dalam pembangunan ekonomi dibicarakan dengan santai dan diluar acara Kongres antara beberapa rekan peserta, diantaranya Prof. Emil Salim, Prof. Saleh Afif, Prof. M. Arsyad Anwar dan saya sendiri dengan beberapa rekan lainnya. Kesempatannya ialah sambil kami makan siang di salah satu pojok ruang tempat sidang. Nampaknya pembicaraan tersebut juga dikelilingi dan ikut didengarkan oleh beberapa wartawan. Hal ini kelak kemudian telah membawa dampak ramifikasi yang agak luas di sementara kalangan masyarakat.


Pembicaraan yang dimaksud berkisar pada masalah efisiensi dalam sistim ekonomi masyarakat dan efektivitas dalam pendayagunaan sumber daya produksi (productive resources yang mencangkup sumber daya manusia, sumber daya fisik dan sumber daya keuangan). Dalam rangka hubungan itulah saya menunjuk sekali lagi secara ulang (sebab telah berkali-kali saya mengucapkannya) pada peranan capital output ratio yang menurut saya tetap berguna sebagai salah satu peralatan analisis dalam pendekatan awal untuk mendapat gambaran kuantitatif dan untuk membuka jalan bagi penelitian empiris yang harus dilakukan secara lebih konkrit dan terinci mengenai berbagai segi belahan permasalahan yang bersangkutan.

Paham "capital output ratio" merupakan pengertian dasar yang baku dalam ilmu ekonomi, khususnya mengenai dinamika dalam perkembangan ekonomi. Paham tersebut yang sudah (seharusnya) dikenal luas di kalangan pelajar dalam ilmu ekonomi menunjuk pada nisbah investasi modal terhadap hasil yang diperoleh dengan investasi yang bersangkutan (the ratio of capital to output). Dengan berpangkal pada capital output ratio sebagai salah satu tolok ukur, maka harus ditarik kesimpulan -- begitu saya bentangkan dalam pembicaraan pada kesempatan itu -- bahwa segi efisiensi dan efektivitas dalam pembangunan ekonomi kita selama ini kurang memadai, dibandingkan dengan perimbangan-perimbangan di negara- negara Asia Tenggara lainnya yang mempunyai struktur ekonomi yang serupa dengan perekonomian Indonesia. Atas dasar apa kesimpulan dan penilaian saya ini? Penilaian tersebut didasarkan atas data-data empiris kuantitatif dan angka-angka statistik yang bersumber pada (badan) pemerintahan sendiri (B.P.S)!

Selama Pelita V investasi modal (pembentukan modal tetap, termasuk perubahan stok) yang tiap tahun terlaksana dalam ekonomi masyarakat (jadi investasi di sektor publik plus investasi di sektor swasta) mencapai tingkat 33,4 per sen dari produk nasional. Boleh dikatakan tinggi, karena mencapai sepertiga dari produk nasional. Dalam pada itu, dalam periode yang sama laju pertumbuhan ekonomi (tambahan hasil produksi barang dan jasa) mencapai tingkat 6,8 per sen setahun. Dengan kata lain ICOR (Incremental Capital Output Ratio, nisbah tambahan investasi modal terhadap tambahan hasil produksi) terletak pada tingkat 33,4 : 6,8 = 4,9, atau katakan secara bulat 5. Tingkat ini harus dianggap terlalu tinggi, dibandingkan dengan keadaan di negara-negara anggota ASEAN, di mana ICOR pada umumnya terletak pada tingkat antara 3 dan 3,5 (terkecuali Filipina). ICOR sebesar 5 itu merupakan pertanda tentang ekonomi biaya tinggi yang masih dialami di negara kita. Hal itulah yang tidak urung dalam tulisan maupun ucapan lisan saya tonjolkan bertahun-tahun selama ini.

Ekonomi biaya tinggi itu yang ditandai oleh ICOR yang tinggi ada kaitannya dengan berbagai faktor teknis-ekonomis dan "non-ekonomis", sehingga terjadilah "pemborosan dan kehangusan" dalam arti waste and loss. Satu sama lain itu bersangkut-paut dengan: (1) Investasi dalam infrastruktur yang untuk sebagian bersifat slow yielding dan low yielding (memakan waktu yang agak lama sebelum investasi yang bersangkutan membuahkan hasil; lagi pula hasil tersebut biasanya terletak di tingkat yang agak rendah); (2) Tetapi untuk sebagian pemborosan bersumber pada kelemahan teknis dalam perencanaan, penyelenggaraan dan perawatan proyek-proyek investasi. Segi permasalahan ini dikenal sebagai O & M (operation and maintenance, penggarapan dan perawatan) yang memang merupakan kelemahan umum di masyarakat negara-negara berkembang, termasuk negara kita; (3) Untuk sebagian lain lagi inefisiensi, pemborosan dan kehangusan berkenaan dengan berbagai segi negatif pada iklim institusional, yaitu penyimpangan dan penyelewengan karena kurang dipatuhinya kaidah-kaidah moral secara normatif.

Apakah dapat dilakukan perkiraan konkrit-kuantitatif tentang besar-kecilnya pemborosan dan kehangusan yang dimaksud? Sebagai pendekatan awal dan dengan perhitungan kasar dan sederhana, maka pemborosan dan kehangusan tersebut dapat diperkirakan berkisar pada 30 per sen dari investasi yang terlaksana. Atas dasar apa perkiraan 30 per sen itu? Jawabannya berkaitan dengan selisih antara ICOR yang bersifat empiris - nyata sebesar 5 dan ICOR yang seyogianya dan seharusnya diturunkan menjadi 3,5. Berdasarkan rumus yang paling sederhana, maka (5 - 3,5) = 1,5 = 1,5/5x100 = 30 per sen (dari investasi yang ex-post terlaksana).

Dalam pada itu harus diperhatikan, bahwa investasi 33,4 per sen dari produk nasional tidak seluruhnya bersumber pada tabungan nasional yang mencapai 29,9 per sen setahun selama Pelita V. Jadi di sini kita mengalami apa yang dikenal sebagai savings-invesment gap, kesenjangan antara tingkat tabungan 29,9 per sen dan tingkat investasi 34,4 per sen yang menunjukkan kekurangan sebesar 3,5 per sen dari pendapatan nasional. Hal itu tercermin pula pada defisit transaksi berjalan di neraca pembayaran luar negeri (dikenal sebagai balance of payments gap). Sebab kekurangan pada perimbangan antara tingkat tabungan nasional dan tingkat investasi harus ditutup dengan pemasukan modal dari luar, baik hal itu bersifat investasi modal secara langsung dan atau berupa pinjaman luar negeri. Hal yang diungkapkan di atas ini menunjukkan betapa pentingnya usaha kita untuk menurunkan tingkat ICOR (meningkatkan efisiensi), disertai oleh upaya untuk meningkatkan tingkat tabungan nasional. Misalkan saja, kalau dalam pembangunan jangka panjang Tahap II nanti, ICOR dapat diturunkan sampai tingkat 3,5, maka dengan investasi total (pemerintah plus swasta) sebesar 33,4 per sen dapat dicapai laju pertumbuhan ekonomi sebesar 33,4 : 3,5 = 9,5 per sen setahun. Ataupun dengan tabungan nasional sebesar 29,9 persen dari pendapatan nasional -- yang disalurkan sebagai investasi--, maka dapat dicapai laju pertumbuhan ekonomi pada tingkat 29,9 : 3,5 = 8,5 per sen setahun. Dalam hal yang terakhir ini pertumbuhan ekonomi bahkan dapat berlangsung atas kekuatan kita sendiri, tanpa memerlukan pinjaman luar negeri!

Kerangka garis pemikiran saya ini baru merupakan pendekatan awal terhadap permasalahan yang bersangkutan, khususnya untuk diperhatikan sebagai isyarat dan pedoman dalam kebijaksanaan pembangunan jangka panjang Tahap II. Pendekatan awal itu walaupun sudah didasarkan atas data-data statistik yang empiris kuantitatif mengenai tabungan - investasi - pendapatan nasional dalam pembangunan negara kita selama Pelita I sampai dengan Pelita V, -- namun hal itu satu sama lain masih harus diuji lebih lanjut dan dilengkapi oleh penelitian mendalam dan terinci mengenai perkembangan di berbagai sektor dan sub sektor maupun perkembangan spasial di berbagai wilayah.

Segala sesuatu yang dibeberkan di atas, itulah yang menjadi pokok pembicaraan yang dilakukan secara bebas dan santai dalam sekelompok kecil di Surabaya seperti yang saya singgung pada awal tulisan ini. Tiba-tiba pada pagi hari berikutnya dalam sementara media cetak ditonjolkan pemberitaan mengenai "kebocoran dana pembangunan sebesar 30 per sen",-- tanpa menempatkannya dalam konteks pemba­hasannya dan pembicaraannya dan tanpa dipaparkannya latar bela­kang argumentasi di antara rekan-rekan kami yang turut serta dalam pertukar-pikiran itu. Oleh karena saya tidak sempat untuk seketika memberi penjelasan seperlunya, maka terjadi semacam vakum waktu. Dalam keadaan demikian oleh berbagai pihak dan kalangan dibentangkan rupa-rupa pandangan, tafsiran, tanggapan dan kontra tanggapan yang mengarah ke berbagai jurusan dan sasaran yang sering agak melantur. Walau­pun dapat dipahami karena ada vakum waktu tadi, namun semuanya itu sebenarnya tidak perlu terjadi seperti yang kelihatan sekarang ini.

Sebab, segala apa yang dibicarakan oleh sekelompok rekan profesional di Surabaya itu dan yang diutarakan di atas dalam tulisan ini, sekali-kali bukan merupakan mata pembahasan yang baru. Semua itu sudah sejak beberapa tahun berulangkali saya ungkapkan secara lisan dalam sejumlah ceramah dan prasaran maupun tertulis hitam diatas putih dalam serangkaian makalah dan publikasi, dengan disajikan dasar analisis yang dilengkapi oleh data-data empiris kuantitatif. Prasaran, ceramah dan makalah yang dimaksud juga telah diterbitkan sebagai brosur-brosur yang disebarluaskan
di antara khalayak ramai. Dalam hubungan ini dapat disebut pidato ilmiah saya pada Dies Natalis Fakultas Ekonomi, UI yang ke 40, September tahun 1990, yang berjudul "Transformasi dan Pembangunan".

Contoh terakhir ialah Prasaran saya kehadapan Fraksi Karya Pem­bangunan, disajikan tanggal 7 Nopember 1992 di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Teks tertulis prasaran yang berjudul "Perekonomian Indonesia menjelang Akhir Pelita V dan Prespektif Pembangunan Jangka Panjang Tahap I” diterbitkan dalam bentuk brosur. Sejumlah 50 (lima puluh) buah brosur itu telah disampaikan kepada Fraksi Karya Pembangunan atas permintaan pimpinan Fraksi untuk dibagikan selanjutnya di antara para anggotanya. Selain itu, brosur tersebut juga dikirim kepada banyak kalangan yang berminat, di antaranya kepada sejumlah Menteri. Dalam brosur ini di halaman 7 dan 8 diuraikan masalah efisiensi pemborosan dan kehangusan, ICOR, tabungan, investasi dan pendapatan, -- hampir kalimat demi kalimat sebagaimana yang diutarakan di atas dalam tulisan ini. Pada teksnya dilampirkan 12 tabel yang memuat berbagai data statistik yang menyangkut perekonomian Indonesia dalam perkembangan 25 tahun yang lalu. Di tabel 5 disajikan data-data lengkap mengenai konsumsi, tabungan, inves­tasi, pendapatan nasional selama masa waktu Pelita I sampai dengan Pelita V. Nampaknya apa yang pada beberapa kesempatan selama beberapa tahun saya kemukakan secara lisan mungkin sudah didengarkan, namun tidak diperhatikan, -- dan apa yang tertera dalam sejumlah tuli­san saya memang tidak dibaca oleh pihak dan kalangan yang akhir- akhir ini telah berkenan untuk menyuarakan rupa-rupa pandangan, tafsiran, tanggapan, kecaman dan sebagainya.

No comments:

Post a Comment