22 April, 2010

Konglomerat dan Ekspor Indonesia


Oleh:
Sri Mulyani Indrawati (2000)



Presiden Gus Dur kembali meramaikan wacana (menurut Jaksa Agung) nasional dengan menyatakan bahwa akan dilakukan penundaan proses hukum kepada tiga konglomerat yaitu Shinivasan, Sjamsul Nursalim, dan Prajogo Pangestu dengan alasan tidak ingin mengganggu ekspor Indonesia. Begitu banyak komentar berhamburan mengenai pernyataan tersebut, dari mulai tuduhan terjadinya intervensi hukum, kemungkinan mobilisasi dana untuk melanggengkan kekuasaan, hingga kecurigaan terciptanya kroni baru. Sebaliknya pernyataan dan klarifikasi dari para pembantu dan juru bicara Presiden adalah bahwa apa yang dinyatakan baru sekedar wacana. Kita coba menyimak dan mengembangkan wacana tersebut terutama dari aspek pertimbangan ekspor.


Kriteria yang digunakan oleh Presiden untuk memberikan perlakukan khusus adalah peranan mereka dalam ekspor nasional. Argumen tersebut langsung dibantah oleh para pelaku ekspor lain yang merasa memiliki kontribusi dan peran yang lebih besar dan signifikan. Namun bila pertimbangan dan perhatian Presiden terhadap kinerja ekspor Indonesia memang benar-benar genuine dan tulus banyak persoalan yang dihadapi oleh kegiatan ekspor ini yang memang sangat patut untuk segera diselesaikan dan ditangani oleh pemerintah. Masalah ini tentu tidak hanya menyangkut tiga pelaku usaha yang tengah bermasalah tersebut.

Ekspor Indonesia mengalami pergeseran struktural yang cukup penting dalam kurun dua dasawarsa terakhir. Pada awal tahun 80'an komposisi ekpor Inodonesia sangat didominasi oleh Migas (71%) dan produk primer non manufaktur (24%). Produk manufaktur hanya menyumbang kurang dari 3% dari total ekspor nasional. Namun pertumbuhan ekpor manufaktur Indonesia begitu tinggi diatas 30% per tahun selama era 80an dan diatas 15% pada era 90an sebelum krisis. Sementara produk ekspor migas dan produk primer mengalami pertumbuhan kecil atau bahkan negatif pada pertengahan 80an. Akibatnya komposisi ekspor Indonesia telah berubah dimana produk manufaktur mendominasi total ekspor yaitu 44%, diikuti oleh produk primer 19% dan produk migas yang menurun tajam hingga hanya sekitar 19%.

Pergeseran komposisi ekpor ini yang diambil alih oleh produk manufaktur tentu tidak terlepas dari peranan sebagian para pengusaha besar (konglomerat) yang juga akibat terfasilitasi oleh liberalisasi perbankan dan pasar modal pada era tersebut. Mekipun demikian kita tidak bisa menyimpulkan bahwa konglomerat memang merupakan ujung tombak ekspor Indonesia, karena perusahaan berukuran menengahpun juga menunjukkan peningkatan orientasi ekspor pada era 90-an.

Statistik menunjukkan bahwa pada awal 1990 perusahaan berukuran besar (umumnya dimiliki konglomerat) secara rata-rata hanya mengekspor 18% dari produknya untuk pasar ekspor. Angka ini hanya sedikit lebih tinggi dari perusahaan menengah yang mengekspor sebesar 16.5% produknya untuk diekspor. Sementara itu perusahaan berukuran kecil melempar 9% dari produknya untuk pasar ekspor.

Perubahan terjadi pada paruh pertama dasawarsa 90an, dimana orientasi ekspor semakin meningkat oleh hampir semua ukuran perusahaan. Perusahaan besar melakukan ekspor terhadap 32% dari produknya, sedang perusahaan menengah mengekspor 23% dari produknya. Rasio produk yang diekspor ini menurun kembali tepat sebelum krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997 dimana porsi dari produk perusahaan besar yang diekspor menurun hanya menjadi 22%, dan untuk perusahaan menengah menurun menjadi 13%.

Penurunan semangat mengekspor terutama oleh perusahaan besar menjadi tanda awal munculnya malapetaka krisis akhir 90an. Waktu itu pemerintah semakin lemah komitmen deregulasinya, dan distorsi pelaku ekonomi yang berasal dari kroni Soeharto makin mendominasi perekonomian. Bahkan bila prestasi eskpor ini dikombinasikan dengan angka impor, prestasi perusahaan besar makin pucat. Perusahaan besar yang memiliki orientasi ekspor relatif agak besar dibanding perusahaan menengah dan kecil juga melakukan impor yang lebih tinggi dibandingkan ukuran perusahaan dibawahnya. Rasio impor untuk perusahaan besar berkisar antara 33% (1990) meningkat menjadi 39% (1995) dan hanya menurun sedikit tahun 1997 sebesar 34%. Dengan demikian ekspor neto perusahaan besar jauh dari menganggumkan, dan ketiga konglomerat yang disebutkan Presiden masuk dalam kategori ini.

Sebenarnya bila Presiden benar-benar serius ingin mendorong ekspor banyak tindakan yang bisa diperintahkan kepada para menterinya yang akan sangat disambut positif oleh pelaku ekspor dan tidak merongrong kredibilitas Presiden sendiri. Masalah yang dihadapi oleh para eksportir Indonesia sungguh beragam. Sepanjang krisis ini kinerja ekspor kita ikut terpuruk, akibat ketergantungan impor yang berkisar antara 40%-78% (kecuali industri kayu). Krisis yang menghantam mata uang rupiah menyebabkan impor kita merosot tajam dan langsung mempengaruhi kinerja ekspor yang ikut melorot. Total ekspor non migas merosot terus sepanjang tiga tahun krisis yakni dari US $41,8 milyar (1997) menjadi US $ 40,9 milyar (1998) dan terus menurun menjadi US $38,9 milyar (1999). Padahal kurs rupiah yang mengalami kemerosotan tajam sepanjang tahun itu seharusnya membuat produk ekspor kita makin menarik di pasar dunia.

Kemerosotan ekspor jelas berhubungan dengan terkaparnya sektor perbankan yang menjadi lembaga sumber pembiayaan utama kegiatan ekonomi dan ekspor. Bank yang telah selesai di rekapitalisasi masih sangat hati-hati meminjamkan dananya. Juga semakin keras peraturan kehati-hatian dari Bank Indonesia terutama yang menyangkut aspek BMPK membuat para eksportir mengalami kehausan modal untuk membiayai kegiatan ekspornya.

Namun selain masalah perbankan, ekspor kita juga mengalami pukulan dari pengadaan bahan baku impor, gangguan keamanan termasuk berbagai pungutan liar, perubahan kebijakan pemerintah dalam bentuk pajak ekspor (CPO), harga patokan (kayu log), larangan ekspor (karet), selain masalah hambatan di pasar tujuan ekspor seperti tarif, kuota dan halangan non tarif lainnya, serta hambatan infratsruktur baik efisiensi pengangkutan, pelabuhan, dan masalah kelangkaan kontainer.

Indonesia juga gagal memanfaatkan momentum maraknya bisnis yang berhubungan dengan teknologi informasi. Negara Asia lain yang terkena krisis terutama Korea Selatan segera mendapatkan momentum pemulihan ekonomi karen permintaan terhadap barang-barang elektronik dunia meningkat tajam sepanjang tahun 1999 dan 2000 ini. Tidak heran pencapaian dan traget kinerja ekonomi Korea Selatan sudah kembali ke masa sebelum krisis dan mampu tumbuh diatas 10% per tahun.

Di kantor Menperindag telah ada setumpuk hasil studi dan berbagai rekomendasi kebijakan yang bisa dan harus dipertimbangkan oleh pemerintah untuk benar-benar memicu kinerja ekspor kita. Juga begitu banyak persoalan baik pada tahap produksi (termasuk teknologi), pembiayaan, distribusi maupun destinasi pasar yang segera perlu dipecahkan bersama. Bila pemerintah mampu melihat secara menyeluruh persoalan ekspor kita, dan keluar dengan kebijakan struktural yang tidak distortif dan diskriminatif yang menunjang keunggulan kompetitif dan efisiensi (artinya menumpas benalu ekonomi) dari pelaku ekonomi kita, kita akan sekaligus mampu pulih dari krisis dan siap menghadapi era pasar bebas ASEAN (AFTA) dan era globalisasi selanjutnya.

Mestinya Presiden bisa mendapatkan masukan kebijakan yang baik bila benar-benar ingin membuka wacana yang bermutu dalam rangka mendorong ekspor dan memulihkan ekonomi. Tanpa mengorbankan kredibilitas lembaga pemerintah dan kepresidenan, dan tanpa menyulut rasa curiga yang sudah makin akut di masyarakat, kita yakin bisa membangun Indonesia kembali. Bila pemerintah terlalu sembrono melontarkan ide kita khawatir yang berkembang di negeri ini bukanlah wacana namun bencana babak selanjutnya.

No comments:

Post a Comment